Kamis, 13 November 2014

Posisi Karya Poskolonial HAMKA dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck



Kritik sastra juga bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan, dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck  karya HAMKA (selanjutnya disingkat dengan TKV), yang serupa dengan sejarah narasi di atas mengenai terpinggirnya orang blasteran. TKV adalah sebuah karya roman yang apik dan menarik dengan bungkusan sastra yang indah, meski bernada satir, mengenai perjuangan seorang muda rantau yang bernama Zainuddin. Orang muda yang kembali ke kampung halaman di mana ayahnya lahir dan dibesarkan di tanah Minangkabau, dan melakukan upaya identifikasi diri untuk menjadi bagian dari Orang Minang. Meski pelbagai usaha telah ia lakukan sebagai upaya peneguhan identitas dirinya sebagai orang Minang, tetapi tetaplah ia menjadi liyan (the other) di mata orang-orang Minang. Sebaik apapun budi pekerti yang dimilikinya, ia tetaplah “anak pisang”, sebuah metapor untuk orang jauh dan bukan asli Minang.
Sastra Poskolonial Merupakan kesusastraan yang membawa pandangan subversif terhadap penjajah dan penjajahan (Aziz, 2003: 200).
Henk Maier, yang mengatakan, bahwa hampir seluruh novel yang dterbitkan oleh Balai Pustaka antara tahun 1920-1941 berlatar belakang Minangkabau. Tidak hanya itu, hampir semuanya pula bertemakan konflik antara adat dan modernitas yang direpresentasikan ke dalam persoalan pernikahan. (Henk Maier, “Pengulangan, Gema, Bayangan: H.C Zentgraaf dan Nur St. Iskandar”, Jakarta: Jurnal Kalam, edisi 14, 1999, hal. 59-60.). Ihwal ini pula yang terjadi dalam TKV, yang memiliki kecenderungan semangat yang serupa dengan novel-novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, di mana konflik adat menjadi narasi besar dalam novel TKV.

HAMKA dalam menuliskan karya-karyanya, kerapkali menggunakan modernitas Islam sebagai media kritik terhadap adat yang kaku dan saklek, khususnya Minangkabau. Perihal ini di satu sisi, HAMKA telah memberikan kontribusi dukungannya terhadap Belanda, agar masyarakat dan kebudayaan yang dimilikinya (dalam hal ini adalah adat) untuk lebih menerima dan berinteraksi terhadap sesuatu yang datang dari luar. Argumentasi ini lah yang memberikan ruang kepada Belanda, untuk memanfaatkan, dengan memasukkan kebijakan kolonialnya yang kerap sewenang-wenang. Posisi Balai Pustaka ketika itu menjadi salah satu lembaga di bawah pemerintah kolonial Belanda yang berfungsi sebagai media kontrol menyebarkan pendidikan budaya melalui buku-buku, yang sesuai dengan kebijakan kolonial pada masyarakat Hindia-Belanda. (Melani Budianta. “In the Margin of the Capital From Tjerita Boedjang Bingoeng to Si Doel Anak Sekolahan, Clearing Space: Postcolonial readings of modern Indonesia Literature, ed. Keith Foulcher dan Tony Day, Leiden: KITLV Press, 2002, hal.261-262.)
Di sisi lain TKV mengkritik modernitas yang dibawa kolonial Belanda, yang dianggap merusak keluhuran adat Minangkabau. Hipotesa ini sekiranya membuat HAMKA dan karya-karyanya sedikit sekali yang diterbitkan Balai Pustaka. (Sepengetahuan penelusuran saya, hanya satu karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Di Bawah Lindungan Ka’bah, 1938. Karya ini bisa lulus sensor dari Balai Pustaka, karena hanya dianggap melukiskan tentang Islam semata, tidak mengarah pada upaya nasionalisme dan sosialisasi pemahaman keagamaan. (HB. Jassin, Kesustraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essays, Jakarta: Gunung Agung, 1954, hal.27.) Sedangkan untuk mengetahui lebih detail sejarah berdirinya Balai Pustaka, lihat: Zuber Usman, Kesusasteraan Baru Indonesia, Jakarta: Gunung Agung,tt, hal.27-30.)
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck-nya HAMKA. Novel ini dituduh menjiplak karya Alphone Karr, Sous les Tilleuls, yang kemudian disadur oleh Mustafa Lutfi el-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab, Madjulin. Novel TKV menjadi perdebatan di kalangan publik Indonesia berkaitan dengan keasliannya. Akhirnya, untuk membuktikan karya sastra TKV, apakah menjiplak atau tidak, diterbitkanlah sebuah terjemahan dari bahasa Arab karya saduran Mustafa Lutfi el-Manfaluthi, yang karya tersebut dipinjamkan sendiri oleh HAMKA untuk diterbitkan dalam edisi terjemahan Indonesia. Kata pengantar terjemahan Madjulin ini ditulis oleh HB. Jassin, yang isinya lebih menjelaskan sebuah bentuk pembelaan terhadap TKV-nya HAMKA. TKV, menurut HB. Jassin, adalah karya asli yang dibuat oleh HAMKA, hanya saja memang HAMKA dalam menuliskannya terinspirasi dari novel Madjuli. Dalam dunia kesusastraan, perihal ini merupakan suatu hal yang wajar. Mustafa Lutfi el-Manfaluthi, Magdalena: Di bawah Naungan Pohon Tillia, terj. A.S Alatas, Jakarta: Kirana, 1963, hal.xi-xxi.
Kritik terhadap dampak kolonialisasi ini yang sekiranya membuat HAMKA tidak mendapatkan ruang dalam dunia kesusasteraan Balai Pustaka, yang saat itu di bawah kekuasaan Belanda. Karya-karya sastra yang tidak termasuk dalam terbitan Balai Pustaka, termasuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dikategorikan sebagai roman picisan oleh R. Roolvink. Disebut sebagai roman picisan, karena hanya berisi cerita percintaan dengan beragam bentuk dan isi, yang kurang memiliki sumbangsih yang besar terhadap kesusastraan tanah air. Atas dasar apa sebenarnya R. Roolvink melakukan pemarjinalan terhadap karya-karya sastra yang bukan dari rahim Balai Pustaka adalah roman picisan dan tidak memberikan sumbangsih besar? Di sinlah saya meragukan argumentasi yang diungkapkan oleh R.Roolvink. Apa yang dilakukan oleh R.Roolvink ini, mengenai Balai Pustaka, sebenarnya adalah sebagai bentuk upaya dominasi dan represi kolonial ke dalam pelbagai ruang, salah satunya adalah dengan karya sastra, yaitu dengan melakukan pengurungan dan ataupun pembungkusan wacana bahasa setiap karya sastra yang lahir, dengan otoritas tunggal Balai Pustaka sebagai martil dan penilik moral bagus tidaknya sebuah karya sastra untuk dibaca khalayak publik. Imbasnya, karya-karya sastra yang tidak diterbitkan Balai Pustaka distereotipkan sebagai roman picisan yang tidak layak untuk dibaca. Stereotip ini berimbas pada pertimbangan masyarakat untuk berpikir ulang saat ingin membaca karya-karya sastra yang tidak termasuk dalam Balai Pustaka. Dampak yang sangat tragis, adalah tidak terdokumentasikan karya-karya sastra yang dianggap oleh Balai Pustaka tidak layak ke dalam sejarah sastra nusantara. Dengan demikian, jejak-jejak sejarah mengenai bangsa melalui tulisan karya sastra selama ini hanyalah menjadi pemilik kaum penguasa (kolonial), yang menjelma melalui Balai Pustaka. Perlu diakui, sebenarnya banyak dari karya-karya sastra, dalam hal ini adalah sastra peranakan, yang tidak diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah karya sastra yang lebih banyak menyoroti kondisi realitas kebusukkan yang terjadi di masyarakat, yang diakibatkan oleh kolonialisasi Belanda. Dan karya-karya sastra tersebut secara tidak langsung memberikan kritik terhadap kebijakan Belanda yang selama ini diterapkan. Perihal inilah yang sekiranya menjadi ketakutan kolonial Belanda, bentuk ketakutannya adalah dengan membuat lembaga kontrol agar masyarakat tidak bersikap kritis dan tersadarkan bahwa dirinya sedang ditindas.

Simpulan

      Karya sastra bersifat bebas dengan atau tanpa adanya unsur budaya yang mengikat, karena sebuah karya sastra cikal bakal kebudayaan baru bagi bangsa Indonesia.

konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yg subjektif dan tidak tepat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar