Kritik umumnya digunakan untuk
menilai sebuah karya sastra. Karya yang dianggap mutakhir ataupun yang tidak.
Mengritisi sebuah karya khususnya Prosa haruslah dilandasi dengan Teori – teori
sastra yang berkesinambungan. Teori sastra digunakan agar suatu karya yang
dikritisi terasa ilmiah dan terstruktur. Ketika mengritisi sebuah karya sastra
tidak boleh main – main sebab mengacu pada karya seseorang. Berpendapat yang
sesuai dengan kajiannya lebih diutamakan daripada berpendapat yang asal
–asalan. Dalam mengaji novel “99 Cahaya di Langit Eropa” karya Hanum Salsabiela
Rais dan Rangga Almahendra perlu adanya fokus, fokus tersebut saya pilih dengan
Kritik Objektif dan Pendekatan Intertekstual. Kritik Objektif merupakan pendekatan yang melihat karya sastra sebagai karya yang
berdiri sendiri. Karya sastra adalah objek yang mandiri dan memiliki dunianya
sendiri. Kritik dengan fokus pembahasan hanya
kritikan pada karya sastra.
Sehubungan dengan pengertian tersebut, munculah Pendekatan Intertekstual. Intertekstual adalah sebuah pendekatan untuk memahami sebuah Teks sebagai sisipan dari teks-teks lain. Intertekstual juga
dipahami sebagai proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks
masa kini. Suatu teks dipahami tidak berdiri sendiri. Suatu teks disusun dari
kutipan-kutipan atau sumber-sumber teks lain. Tokoh yang mengembangkan
pendekatan ini adalah Julia Kristeva, beliau menganggap bahwa suatu teks tidak berdiri sendiri. Ada
dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, pengarang sebuah teks adalah
pembaca sebelum ia penulis teks-teks. Teks yang ditulis tentu dipengaruhi oleh
teks-teks lain yang dibaca oleh sang pengarang. Dalam proses penulisan teks,
pengarang menggunakan berbagai rujukan atau kutipan dari teks-teks yang telah
ia baca. Kedua, sebuah teks tersedia melalui proses
pencarian materi yang hendak ditulis. Dalam proses tersebut, ada pertentangan
maupun penerimaan akan materi-materi yang ditemukan dalam teks-teks yang
dibaca. Teks-teks yang mempengaruhi bisa jadi teks-teks yang ada sebelum teks
ditulis atau teks-teks yang berada pada zaman teks ditulis. Pengaruh yang
diberikan teks-teks lain bisa dalam bentuk gagasan, ucapan-ucapan lisan, gaya bahasa, dan
lain-lain. Teks yang dimaksud disini bukan hanya teks tertulis tetapi juga teks
yang tidak tertulis atau lisan seperti adat istiadat, kebudayaan, dan agama.
99 Cahaya di
Langit Eropa adalah novel
laris karya Hanum Salsabiela Rais dan Ranga Almahendra.
Buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka
Utama pada tahun 2011.
Novel ini ditulis oleh sepasang suami istri dan berdasarkan kisah nyata. Kisah
perjalanan seorang suami istri yang menemukan peradaban islam di benua Eropa
yang notabene menganut agama non islam. Novel ini dibuka di kota Wina, Austria
yang menjadi tempat tinggal pasangan muda Rangga dan Hanum di tahun 2008.
Rangga adalah seorang mahasiswa Magister dari Indonesia yang mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan kuliah di negerinya Mozart tersebut, dan Hanum yang
saat itu adalah reporter Trans TV, mau tak mau meninggalkan pekerjaannya untuk
ikut serta mendampingi sang suami kuliah di Eropa. Suami kuliah, maka istri pun
jalan-jalan daripada bengong sendirian di apartemen, apalagi di negeri
yang bahasa ibu nya tidak kita pahami. Di awal novel itu, dikisahkan bahwa
Hanum harus mengambil kursus bahasa Jerman yang merupakan bahasa ibu di negara
Austria, agar ia dapat berkomunikasi dengan penduduk sekitar selama
petualangannya hidup mendampingi suami di sana. Dari kelas kursus bahasa Jerman
inilah, Hanum berkenalan dengan seorang wanita Turki bernama Fatma Pasha, yang
setiap berjalan-jalan dengan Hanum, hampir selalu tak lupa menjemput dari
sekolah dan mengajak serta putri kecilnya Ayse. Teman-teman Rangga di kampus
diperankan juga secara menarik yaitu mahasiswa Muslim dari India bernama Khan
seorang Muslim fanatik yang bahkan rela tak lulus ujian demi ikut sholat Jumat,
Steffan seorang agnostik/atheis yang terus mencecar Rangga dengan pertanyaan
logika seputar “Apakah Tuhan itu ada?”…..lalu sosok Maarja yang merupakan
seorang gadis cantik Eropa Timur yang “menaruh hati” dengan Rangga tak peduli
bahwa Rangga telah beristri. Sementara dari teman-teamnnya Hanum, selain Fatma
di atas, ada teman-teman Turki nya yang juga tinggal di Osterreich, yang
di dalam novel sebenarnya adalah teman-teman pengajian Fatma, yaitu Latife dan Ezra.
Ketika pasangan ini bertualang ke Paris, mereka juga bertemu seorang tokoh
menarik dan simpatik yaitu Marion Latimer seorang mualaf Perancis. Dalam novel
diceritakan dengan jelas, si bule bercerita kepada temannya, bahwa penamaan
roti Croissant adalah berdasarkan sejarah kemenangan pasukan Eropa dalam
mengalahkan invasi pasukan Muslim Kesultanan Ottoman Turki. Sedemikian
dendamnya masyarakat Eropa yang non Muslim, sehingga mereka membuat roti
berbentuk bulan sabit untuk dimakan, bukan untuk dihormati. Bulan Sabit adalah
lambang negara Turki, yang awalnya sebelum jaman Attaturk malah merupakan
simbol kekaisaran Islam Eropa di bawah kekuasaan Turki. Dan memang salah satu
simbol agama Islam pula bersama bintang. Attaturk menghilangkan lambang bintang
nya dalam bendera Turki saat ini, karena ia anti atribut Islam. Di novel
diceritakan, bahwa penyerangan Kara Mustapha sekitar 400 tahun lalu ke kota
Wina, berakhir dengan kegagalan, karena ia telah meremehkan pasukan musuhnya,
salah strategi, dan akhirnya pasukannya kalah. Sudahlah kalah perang, bukannya
dilindungi oleh Sultan Turki, tapi ia malah akhirnya dihukum mati di Beograd
yang sekarang menjadi ibukota negara Serbia.
Selain
paparan kritis objektif di atas, novel ini juga bisa dikaji dalam pendekatan
intertekstual. Novel yang bisa dikatakan “novel mutifungsi” karena di dalam
novel tersebut selain menceritakan tentang perjalanan tokoh Hanum dan Rangga,
juga menyisipkan ilmu – ilmu sejarah perkembangan islam di Eropa. Bukan hanya
berbentuk teks, tapi lukisan – lukisan yang digambarkan dalam novel membuat
kita berpikir melintasi daya khayal dan mengulas kembali sejarah. Novel ini
memang dilandasi oleh beberapa sumber dan teks – teks sejarah. Dalam novel,
Fatma Pasha dan Mariot menjelaskan perkembangan islam kepada Hanum dengan lisan,
namun sebelumnya pasti mereka telah mencari informasi lewat teks dan wacana
sejarah. Metode yang mereka juga menggunakan sumber seperti peta yang digunakan
oleh Mariot, lukisan Bunda Maria juga demikian.
Novel ini sangat mengispirasi dan
menarik. Teks cerita dan sejarah yang dikisahkan dalam novel cukup untuk
menelisik lagi dari zaman ke zaman. Novel yang jarang ditemukan dalam konteks
kekinian, yang tidak sedikit menyisipkan pengetahuan di dalamnya. Cerita yang disampaikan begitu santai dengan bahasa yang
lugas dan sederhana. Buku ini hingga lembar terakhir menguatkan kita sebagai
seorang muslim bahwa: di belahan bumi manapun, menegakkan aqidah keislaman
kita, berarti kita bersiap untuk menjadi “agen muslim sejati” yaitu sebagai muslim
yang membawa rahmat bagi sekelilingnya, rahmatan lil alamin &
kebangkitan peradaban Islam adalah saat umat Islam kembali pada Al-Qur’an
yang tidak sekedar dibaca, tetapi juga di pelajari dan diteliti detil artinya
sesuai dengan bidang keilmuan kita. Menumbuhkan (kembali) kecintaan umat Islam
pada Al-Qur’an, akan menjadi dasar kembali bersinarnya peradaban Islam seperti
beberapa ribu tahun silam. Terakhir, memberikan gambaran baru tentang Eropa
selain keindahan dan kemegahan bangunan di seantero dunia. Selain kelebihan
tersebut juga ada kelemahannya, pada pemotongan sub bab dalam buku terkesan
dipaksakan. Ketika sudah sampai pada akhir sub bab, tiba-tiba kita masuk lagi
pada rangkaian cerita sebelumnya yang terputus. Pada bagian penutup, akan lebih
menarik jika maksud dari penulis langsung masuk ke sub bab Ka’bah tanpa
harus memasuki cerita yang lainnya, meski bagian tersebut menjelaskan mengapa
penulis ingin naik haji.
Kehancuran
Islam di Eropa adalah karena setitik nila perang saling menguasai yang menyebabkan
trauma berkepanjangan. Jika proses masuknya Islam terus konsisten melalui cara
damai seperti di Indonesia tentulah, Eropa hingga kini masih bercahaya
sebagaimana Cordoba berhasil menerangi abad gelap di Eropa. Kini minoritas
Islam di Eropa harus berjuang untuk mengembalikan citra Islam yang keras
menjadi lembut, seperti Fatma yang tetap santun meski mendengar hujatan
dari orang-orang Eropa non muslim. Itulah sejatinya Islam, agama yang cinta
damai. Sayang, selalu dan masih saja ada yang memaknai Islam harus ditegakkan
dengan jalan yang keras, menebar teror melalui hembusan jihad, atau demo yang
berujung anarkis seperti di Indonesia. Sudah saatnya umat Islam belajar dari
kegagalan Islam berjaya di Eropa. Nafsu untuk menjadi lebih, nafsu untuk menguasai,
dan nafsu merasa paling benar atas nama agama hanya akan memperburuk citra
Islam di mata dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar