Kamis, 13 November 2014

Intertekstual dalam 99 Cahaya di Langit Eropa



Kritik umumnya digunakan untuk menilai sebuah karya sastra. Karya yang dianggap mutakhir ataupun yang tidak. Mengritisi sebuah karya khususnya Prosa haruslah dilandasi dengan Teori – teori sastra yang berkesinambungan. Teori sastra digunakan agar suatu karya yang dikritisi terasa ilmiah dan terstruktur. Ketika mengritisi sebuah karya sastra tidak boleh main – main sebab mengacu pada karya seseorang. Berpendapat yang sesuai dengan kajiannya lebih diutamakan daripada berpendapat yang asal –asalan. Dalam mengaji novel “99 Cahaya di Langit Eropa” karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra perlu adanya fokus, fokus tersebut saya pilih dengan Kritik Objektif dan Pendekatan Intertekstual. Kritik Objektif merupakan pendekatan yang melihat karya sastra sebagai karya yang berdiri sendiri. Karya sastra adalah objek yang mandiri dan memiliki dunianya sendiri. Kritik dengan fokus pembahasan hanya kritikan pada karya sastra. Sehubungan dengan pengertian tersebut, munculah Pendekatan Intertekstual. Intertekstual adalah sebuah pendekatan untuk memahami sebuah Teks sebagai sisipan dari teks-teks lain. Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Suatu teks dipahami tidak berdiri sendiri. Suatu teks disusun dari kutipan-kutipan atau sumber-sumber teks lain. Tokoh yang mengembangkan pendekatan ini adalah Julia Kristeva, beliau menganggap bahwa suatu teks tidak berdiri sendiri. Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, pengarang sebuah teks adalah pembaca sebelum ia penulis teks-teks. Teks yang ditulis tentu dipengaruhi oleh teks-teks lain yang dibaca oleh sang pengarang. Dalam proses penulisan teks, pengarang menggunakan berbagai rujukan atau kutipan dari teks-teks yang telah ia baca.  Kedua, sebuah teks tersedia melalui proses pencarian materi yang hendak ditulis. Dalam proses tersebut, ada pertentangan maupun penerimaan akan materi-materi yang ditemukan dalam teks-teks yang dibaca. Teks-teks yang mempengaruhi bisa jadi teks-teks yang ada sebelum teks ditulis atau teks-teks yang berada pada zaman teks ditulis. Pengaruh yang diberikan teks-teks lain bisa dalam bentuk gagasan, ucapan-ucapan lisan, gaya bahasa, dan lain-lain. Teks yang dimaksud disini bukan hanya teks tertulis tetapi juga teks yang tidak tertulis atau lisan seperti adat istiadat, kebudayaan, dan agama.
            99 Cahaya di Langit Eropa adalah novel laris karya Hanum Salsabiela Rais dan Ranga Almahendra. Buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2011. Novel ini ditulis oleh sepasang suami istri dan berdasarkan kisah nyata. Kisah perjalanan seorang suami istri yang menemukan peradaban islam di benua Eropa yang notabene menganut agama non islam. Novel ini dibuka di kota Wina, Austria yang menjadi tempat tinggal pasangan muda Rangga dan Hanum di tahun 2008. Rangga adalah seorang mahasiswa Magister dari Indonesia yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di negerinya Mozart tersebut, dan Hanum yang saat itu adalah reporter Trans TV, mau tak mau meninggalkan pekerjaannya untuk ikut serta mendampingi sang suami kuliah di Eropa. Suami kuliah, maka istri pun jalan-jalan daripada bengong sendirian di apartemen, apalagi di negeri yang bahasa ibu nya tidak kita pahami. Di awal novel itu, dikisahkan bahwa Hanum harus mengambil kursus bahasa Jerman yang merupakan bahasa ibu di negara Austria, agar ia dapat berkomunikasi dengan penduduk sekitar selama petualangannya hidup mendampingi suami di sana. Dari kelas kursus bahasa Jerman inilah, Hanum berkenalan dengan seorang wanita Turki bernama Fatma Pasha, yang setiap berjalan-jalan dengan Hanum, hampir selalu tak lupa menjemput dari sekolah dan mengajak serta putri kecilnya Ayse. Teman-teman Rangga di kampus diperankan juga secara menarik yaitu mahasiswa Muslim dari India bernama Khan seorang Muslim fanatik yang bahkan rela tak lulus ujian demi ikut sholat Jumat, Steffan seorang agnostik/atheis yang terus mencecar Rangga dengan pertanyaan logika seputar “Apakah Tuhan itu ada?”…..lalu sosok Maarja yang merupakan seorang gadis cantik Eropa Timur yang “menaruh hati” dengan Rangga tak peduli bahwa Rangga telah beristri. Sementara dari teman-teamnnya Hanum, selain Fatma di atas, ada teman-teman Turki nya yang juga tinggal di Osterreich, yang di dalam novel sebenarnya adalah teman-teman pengajian Fatma, yaitu Latife dan Ezra. Ketika pasangan ini bertualang ke Paris, mereka juga bertemu seorang tokoh menarik dan simpatik yaitu Marion Latimer seorang mualaf Perancis. Dalam novel diceritakan dengan jelas, si bule bercerita kepada temannya, bahwa penamaan roti Croissant adalah berdasarkan sejarah kemenangan pasukan Eropa dalam mengalahkan invasi pasukan Muslim Kesultanan Ottoman Turki. Sedemikian dendamnya masyarakat Eropa yang non Muslim, sehingga mereka membuat roti berbentuk bulan sabit untuk dimakan, bukan untuk dihormati. Bulan Sabit adalah lambang negara Turki, yang awalnya sebelum jaman Attaturk malah merupakan simbol kekaisaran Islam Eropa di bawah kekuasaan Turki. Dan memang salah satu simbol agama Islam pula bersama bintang. Attaturk menghilangkan lambang bintang nya dalam bendera Turki saat ini, karena ia anti atribut Islam. Di novel diceritakan, bahwa penyerangan Kara Mustapha sekitar 400 tahun lalu ke kota Wina, berakhir dengan kegagalan, karena ia telah meremehkan pasukan musuhnya, salah strategi, dan akhirnya pasukannya kalah. Sudahlah kalah perang, bukannya dilindungi oleh Sultan Turki, tapi ia malah akhirnya dihukum mati di Beograd yang sekarang menjadi ibukota negara Serbia.
            Selain paparan kritis objektif di atas, novel ini juga bisa dikaji dalam pendekatan intertekstual. Novel yang bisa dikatakan “novel mutifungsi” karena di dalam novel tersebut selain menceritakan tentang perjalanan tokoh Hanum dan Rangga, juga menyisipkan ilmu – ilmu sejarah perkembangan islam di Eropa. Bukan hanya berbentuk teks, tapi lukisan – lukisan yang digambarkan dalam novel membuat kita berpikir melintasi daya khayal dan mengulas kembali sejarah. Novel ini memang dilandasi oleh beberapa sumber dan teks – teks sejarah. Dalam novel, Fatma Pasha dan Mariot menjelaskan perkembangan islam kepada Hanum dengan lisan, namun sebelumnya pasti mereka telah mencari informasi lewat teks dan wacana sejarah. Metode yang mereka juga menggunakan sumber seperti peta yang digunakan oleh Mariot, lukisan Bunda Maria juga demikian.
Novel ini sangat mengispirasi dan menarik. Teks cerita dan sejarah yang dikisahkan dalam novel cukup untuk menelisik lagi dari zaman ke zaman. Novel yang jarang ditemukan dalam konteks kekinian, yang tidak sedikit menyisipkan pengetahuan di dalamnya. Cerita yang disampaikan begitu santai dengan bahasa yang lugas dan sederhana. Buku ini hingga lembar terakhir menguatkan kita sebagai seorang muslim bahwa: di belahan bumi manapun, menegakkan aqidah keislaman kita, berarti kita bersiap untuk menjadi “agen muslim sejati” yaitu sebagai muslim yang membawa rahmat bagi sekelilingnya, rahmatan lil alamin &  kebangkitan peradaban Islam adalah saat umat Islam kembali pada Al-Qur’an yang tidak sekedar dibaca, tetapi juga di pelajari dan diteliti detil artinya sesuai dengan bidang keilmuan kita. Menumbuhkan (kembali) kecintaan umat Islam pada Al-Qur’an, akan menjadi dasar kembali bersinarnya peradaban Islam seperti beberapa ribu tahun silam. Terakhir, memberikan gambaran baru tentang Eropa selain keindahan dan kemegahan bangunan di seantero dunia. Selain kelebihan tersebut juga ada kelemahannya, pada pemotongan sub bab dalam buku terkesan dipaksakan. Ketika sudah sampai pada akhir sub bab, tiba-tiba kita masuk lagi pada rangkaian cerita sebelumnya yang terputus. Pada bagian penutup, akan lebih menarik jika maksud dari penulis langsung masuk ke  sub bab Ka’bah tanpa harus memasuki cerita yang lainnya, meski bagian tersebut menjelaskan mengapa penulis ingin naik haji.
Kehancuran Islam di Eropa adalah karena setitik nila perang saling menguasai yang menyebabkan trauma berkepanjangan. Jika proses masuknya Islam terus konsisten melalui cara damai seperti di Indonesia tentulah, Eropa hingga kini masih bercahaya sebagaimana Cordoba berhasil menerangi abad gelap di Eropa. Kini minoritas Islam di Eropa harus berjuang untuk mengembalikan citra Islam yang keras menjadi lembut,  seperti Fatma yang tetap santun meski mendengar hujatan dari orang-orang Eropa non muslim. Itulah sejatinya Islam, agama yang cinta damai. Sayang, selalu dan masih saja ada yang memaknai Islam harus ditegakkan dengan jalan yang keras, menebar teror melalui hembusan jihad, atau demo yang berujung anarkis seperti di Indonesia. Sudah saatnya umat Islam belajar dari kegagalan Islam berjaya di Eropa. Nafsu untuk menjadi lebih, nafsu untuk menguasai, dan nafsu merasa paling benar atas nama agama hanya akan memperburuk citra Islam di mata dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar