Kamis, 06 November 2014

kritik sastra

Analisis Puisi “Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri dilihat dari Sudut Pandang Mimetis dan Pendekatan Semiotika
 
Tahun 70’an dikenal dengan munculnya aliran Puisi – Puisi “mbeling”. Puisi yang mengawali era baru dalam dunia sastra di Indonesia. Puisi yang memunculkan tanda – tanda dalam karya membuat puisi itu terkesan “aneh” dan “main-main” dalam zamannya. Sutardji Calzoum Bachri memelopori aliran yang unik tersebut. Tipografi yang berbeda dari sastrawan lain membua Puisi Sutardji Calzoum Bachri sangat menarik untuk dianalisi. Puisi “Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri masuk dalam kumpulan sajak O Amuk Kapak yang terdiri dari 3 bagian yaitu O (sajak-sajak 1966-1973; 27 puisi), Amuk (sajak-sajak 1973-1976; 15 puisi) dan Kapak (sajak-sajak 1976-1979; 26 puisi).
Mimetis dipandang sebagai kritik yang bertolak pada pandangan bahwa suatu karya sastra adalah gambaran atau rekaan dari dunia dan kehidupan manusia. Kritik dengan fokus pembahasan atas dasar hubungan karya sastra dengan kehidupan nyata. Sudut Pandang Mimetis berhubungan dengan Relasi Karya dan Kehidupan. Mimetis sangat erat hubungannya denga Ilmu Tanda. Semiotika (juga disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan komunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun, berbeda dari linguistik, semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-linguistik. Definisi Peirce dari istilah "semiotik" sebagai studi tentang kegunaan yang diperlukan dari tanda-tanda juga memiliki efek pembeda disiplin ilmu dari linguistik sebagai studi fitur kontingen tentang bahasa dunia yang terjadi dan diperoleh dalam perjalanan evolusi mereka. Selanjutnya, Marcel Danesi (1994) menyarankan bahwa prioritas ahli semiotik 'yang pertama untuk mempelajari makna, dan komunikasi yang kedua. Namun, ada sebuah pandangan yang lebih ekstrim yang ditawarkan oleh Jean-Jacques Nattiez (1987; diterjemahkan 1990: 16.), sebagai seorang musikolog, yang dianggap sebagai studi teoritis komunikasi yang tidak relevan dengan aplikasinya semiotika.
Pada puisi Tragedi Winka dan Sihka, tragedi merupakan suatu peristiwa yang berakhir dengan kesedihan. Sedangkan Winka dan Sihka merupakan kata nonsense yaitu kata yang tidak mempunyai makna, tetapi oleh penyair kata tersebut mempunyai makna. Pada puisi tersebut dapat ditemui 3 tanda atau suku kata yaitu win, ka, sih  yang seolah-olah membentuk dua kata benda diri yaitu Winka dan Sihka, serta kata keadaan yaitu kawin dan kasih. Kata kawin dan kasih mengandung arti konotasi yaitu perkawinan yang penuh kebahagiaan dan disertai kasih sayang. Kata kawin ditulis sampai 5 kali secara utuh memberi arti bahwa dalam periode entah 5 tahun, 5 bulan, 5 minggu, atau 5 hari usia perkawinan masih berjalan dengan penuh kebahagiaan. Akan tetapi, kemudian kata kawin terputus-putus yang memberikan arti bahwa perkawinan sudah tidak utuh lagi karena mulai timbul masalah-masalah kehidupan dan pertengkaran antara suami dan istri dimana mereka tidak lagi selalu sejalan. Hal ini dapat kita lihat pada bait selanjutnya yang sudah tidak menggunakan kata kawin secara bersamaan tetapi memisah menjadi ka dan win saja. Begitu juga dengan kata kasih yang memisah menjadi ka dan sih saja. Pada akhirnya terjadi tragedi winka dan sihka yaitu sebuah perceraian, di mana suami istri hidup terpisah. Sedangkan pada akhir, kata ka  disambung dengan ku menjadi kaku yang mempunyai makna kawin dan kasih sudah menjadi kaku dan sudah kehilangan rasa. Gaya penulisan atau Tipografi puisi Tragedi Winka dan Sihka disusun secara zigzag membuat puisi tersebut tampak berbeda. Justru bentuk yang berbeda inilah membawa nilai estetik karena penyair mempunyai makna tersendiri dengan susunan bentuk yang ia ciptakan. Selain itu, teknik persajakan yang digunakan dengan memotong-motong kata dan membalikkan suku kata, yang sulit dimaknai secara langsung makna kata Winka dan Sihka. Tentu saja tidak akan kita temui arti kedua kata tersebut dalam kamus karena hal ini memang strategi pembebasan makna yang dilakukan oleh Sutardji. Pada  buku tersebut dijelaskan, kata-kata kawin dan kasih yang diputus-putus dan dibalik, secara linguistik sajak tersebut tidak ada artinya, kecuali kata kawin dan kasih itu.  Kata kawin dan kasih mengandung konotasi bahwa suatu perkawinan itu menimbulkan angan-angan hidup penuh kebahagiaan, terlebi bila disertai kasih sayang. Tipografi zigzag yang sangat menonjol memberi arti bahwa perkawinan adalah sesuatu yang sulit. Tata wajah dalam puisi ini dapat diartikan bahwa kehidupan yang tersirat dalam puisi ini sangat tragis dan mengalami sebuah masalah yang begitu tajamnya. Jika dilihat dari tingkat kemiringannya, terlihat bahwa masalah yang dialami tokoh dalam puisi semakin sulit. Bentuk gelombang tajam dan berliku-liku menunjukkan pasang surutnya kehidupan. Perkawinan yang semula bermakna kebahagiaan setelah mengalami jalan berliku-liku penuh bahaya akhirnya terjadi suatu tragedi.
Kata kawin bermakna kebahagiaan, sedangkan winka mengandung makna kesengsaraan. Kawin adalah persatuan, dan winka adalah perceraian. Kasih berarti cinta, sedangkan sihka berarti kebencian. Kawin dan kasih adalah sebuah kebahagiaan, sedangkan winka dan sihka adalah kesengsaraan dan kebencian. Bila kawin dan kasih menjadi winka dan sihka, maka itulah tragedi kehidupan dalam sebuah rumah tangga yang tidak akan pernah selalu sama. Roda akan selalu berputar, terkadang di atas dan tak jarang pula berada di bawah. Begitu juga kehidupan yang tidak akan selalu senang tetapi juga merasakan susah, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.
Penting bagi kita untuk memahami Puisi “Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri. amanat yang tersirat akan kita pahami ketika kita mengetahui makna sebenarnya dari Puisi tersebut.
                                                                                   
Sumber
Rachmat Djoko Pradopo (1995). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.    Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 93. ISBN 979-8581-15-6.
Rachmat Djoko Pradopo (1997). Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada       University Press. hlm. 10,11,14-15. ISBN 979-420-298-3..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar