Analisis Puisi “Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri dilihat dari Sudut Pandang Mimetis dan Pendekatan Semiotika
Tahun
70’an dikenal dengan munculnya aliran Puisi – Puisi “mbeling”. Puisi yang
mengawali era baru dalam dunia sastra di Indonesia. Puisi yang memunculkan
tanda – tanda dalam karya membuat puisi itu terkesan “aneh” dan “main-main”
dalam zamannya. Sutardji
Calzoum Bachri memelopori aliran yang unik tersebut. Tipografi yang berbeda
dari sastrawan lain membua Puisi Sutardji Calzoum Bachri sangat menarik untuk
dianalisi. Puisi “Tragedi Winka dan Sihka”
karya Sutardji
Calzoum Bachri masuk dalam kumpulan sajak O Amuk Kapak yang terdiri dari 3 bagian yaitu O (sajak-sajak
1966-1973; 27 puisi), Amuk (sajak-sajak 1973-1976; 15 puisi) dan Kapak
(sajak-sajak 1976-1979; 26 puisi).
Mimetis
dipandang sebagai kritik yang bertolak pada pandangan bahwa suatu
karya sastra adalah gambaran atau rekaan dari dunia dan kehidupan manusia. Kritik dengan fokus pembahasan atas dasar hubungan karya sastra
dengan kehidupan nyata. Sudut Pandang Mimetis berhubungan
dengan Relasi Karya dan Kehidupan. Mimetis sangat erat hubungannya denga Ilmu
Tanda. Semiotika (juga disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk
studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan,
kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan komunikasi. Semiotika
berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk sebagian, mempelajari
struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun, berbeda dari linguistik,
semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-linguistik. Definisi Peirce dari istilah "semiotik" sebagai studi tentang
kegunaan yang diperlukan dari tanda-tanda juga memiliki efek pembeda disiplin
ilmu dari linguistik sebagai studi fitur kontingen tentang bahasa dunia yang
terjadi dan diperoleh dalam perjalanan evolusi mereka. Selanjutnya, Marcel Danesi (1994) menyarankan bahwa prioritas ahli
semiotik 'yang pertama untuk mempelajari makna, dan komunikasi yang kedua. Namun, ada sebuah pandangan yang lebih ekstrim yang ditawarkan oleh
Jean-Jacques Nattiez (1987; diterjemahkan 1990: 16.), sebagai seorang
musikolog, yang dianggap sebagai studi teoritis komunikasi yang tidak relevan
dengan aplikasinya semiotika.
Pada
puisi Tragedi Winka dan Sihka, tragedi merupakan suatu peristiwa yang
berakhir dengan kesedihan. Sedangkan Winka dan Sihka merupakan kata nonsense
yaitu kata yang tidak mempunyai makna, tetapi oleh penyair kata tersebut
mempunyai makna. Pada puisi tersebut dapat ditemui 3 tanda atau suku kata yaitu
win, ka, sih yang
seolah-olah membentuk dua kata benda diri yaitu Winka dan Sihka, serta kata
keadaan yaitu kawin dan kasih. Kata kawin dan kasih mengandung arti konotasi
yaitu perkawinan yang penuh kebahagiaan dan disertai kasih sayang. Kata kawin
ditulis sampai 5 kali secara utuh memberi arti bahwa dalam periode entah 5
tahun, 5 bulan, 5 minggu, atau 5 hari usia perkawinan masih berjalan dengan
penuh kebahagiaan. Akan tetapi, kemudian kata kawin terputus-putus yang memberikan
arti bahwa perkawinan sudah tidak utuh lagi karena mulai timbul masalah-masalah
kehidupan dan pertengkaran antara suami dan istri dimana mereka tidak lagi
selalu sejalan. Hal ini dapat kita lihat pada bait selanjutnya yang sudah tidak
menggunakan kata kawin secara bersamaan tetapi memisah menjadi ka dan win saja. Begitu juga dengan kata kasih yang memisah menjadi ka dan sih saja. Pada akhirnya terjadi tragedi winka dan sihka
yaitu sebuah perceraian, di mana suami istri hidup terpisah. Sedangkan pada
akhir, kata ka disambung
dengan ku menjadi kaku
yang mempunyai makna kawin dan kasih sudah menjadi kaku dan sudah kehilangan
rasa. Gaya penulisan atau Tipografi puisi Tragedi Winka dan Sihka disusun
secara zigzag membuat puisi tersebut tampak berbeda. Justru bentuk yang berbeda
inilah membawa nilai estetik karena penyair mempunyai makna tersendiri dengan
susunan bentuk yang ia ciptakan. Selain itu, teknik persajakan yang digunakan
dengan memotong-motong kata dan membalikkan suku kata, yang sulit dimaknai secara
langsung makna kata Winka dan Sihka. Tentu saja tidak akan kita temui arti
kedua kata tersebut dalam kamus karena hal ini memang strategi pembebasan makna
yang dilakukan oleh Sutardji. Pada buku tersebut dijelaskan, kata-kata kawin
dan kasih yang diputus-putus dan dibalik, secara linguistik sajak tersebut
tidak ada artinya, kecuali kata kawin dan kasih itu. Kata kawin dan kasih
mengandung konotasi bahwa suatu perkawinan itu menimbulkan angan-angan hidup
penuh kebahagiaan, terlebi bila disertai kasih sayang. Tipografi zigzag yang sangat menonjol memberi arti bahwa
perkawinan adalah sesuatu yang sulit. Tata wajah dalam puisi ini dapat
diartikan bahwa kehidupan yang tersirat dalam puisi ini sangat tragis dan
mengalami sebuah masalah yang begitu tajamnya. Jika dilihat dari tingkat
kemiringannya, terlihat bahwa masalah yang dialami tokoh dalam puisi semakin
sulit. Bentuk gelombang tajam dan berliku-liku menunjukkan pasang surutnya
kehidupan. Perkawinan yang semula bermakna kebahagiaan setelah mengalami jalan
berliku-liku penuh bahaya akhirnya terjadi suatu tragedi.
Kata
kawin bermakna kebahagiaan, sedangkan winka mengandung makna
kesengsaraan. Kawin adalah persatuan, dan winka adalah perceraian. Kasih
berarti cinta, sedangkan sihka berarti kebencian. Kawin dan kasih adalah
sebuah kebahagiaan, sedangkan winka dan sihka adalah kesengsaraan
dan kebencian. Bila kawin dan kasih menjadi winka dan sihka, maka
itulah tragedi kehidupan dalam sebuah rumah tangga yang tidak akan pernah
selalu sama. Roda akan selalu berputar, terkadang di atas dan tak jarang pula
berada di bawah. Begitu juga kehidupan yang tidak akan selalu senang tetapi
juga merasakan susah, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.
Penting
bagi kita untuk memahami Puisi “Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum
Bachri. amanat yang tersirat akan kita pahami ketika kita mengetahui makna
sebenarnya dari Puisi tersebut.
Sumber
Rachmat Djoko Pradopo (1995). Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 93. ISBN 979-8581-15-6.
Rachmat Djoko Pradopo (1997). Prinsip-prinsip
Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 10,11,14-15. ISBN 979-420-298-3..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar