Novel Dan Brown, The Da Vinci Code, menguak sejarah Yesus dan Gereja
yang selama 2000 tahun terkunci rapat. Otoritas gereja kelimpungan
membuat tangkisan.
Novel bermuatan agama nampaknya selalu
mengundang kontroversi. Ini juga berlaku buat novel The Da Vinci Code.
Mungkin, karena kontroversial, novel keempat Dan Brown ini menjadi
novel terlaris tahun 2003 dengan total penjualan 5,7 juta eksemplar.
Rekor penjualan selama 10 tahun yang dipegang novel The Bridges Over
the Madison Country karya James Waller yang terjual 4,3 juta eksemplar
pun terpecahkan.
Sejak terbit Maret 2003 lalu, sampai
sekarang The Da Vinci Code sudah terjual lebih dari 20 juta kopi.
Sepanjang 2003-2004, bisa jadi inilah buku yang paling sensasional.
Selama 56 pekan (1 tahun 1 bulan), ia bertengger di puncak daftar buku
fiksi terlaris versi The New York Times. Kini penerbitnya, Doubleday,
masih terus mencetak buku yang telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa
itu.
Di Indonesia, buku impor yang dibanderol Rp 65.500
untuk versi soft cover dan Rp 265.700 untuk hard cover juga laku
keras. Sejak diterjemahkan penerbit Serambi, Juli lalu, kini sudah
mengalami 9 kali cetak. Apalagi, setelah belasan media cetak berbahasa
Inggris mengulas isinya. Di toko-toko buku, The Da Vinci Code
dipajang mencolok. Beberapa toko buku di Jakarta sampai kehabisan stok
thriller fiksi itu.
Saking larisnya, Columbia Pictures
sudah melepas banyak duit untuk membeli hak ciptanya. Bintang-bintang
Hollywood, seperti Russel Crowe, George Clooney, dan Tom Hanks yang
biasanya jual mahal kalau ditawari main film, kini beramai-ramai
melamar jadi pemain. Sebuah tim solid dengan sutradara Ron Howard,
penulis skenario kelas berat, Brian Grazer dan John Galley, bekerja
keras untuk film yang dirilis pada awal tahun 2006 itu.
Trio
Howard, Grazer dan Goldsman adalah orang yang sama yang telah
melahirkan Beautiful Mind pada tahun 2001. Film yang dibintangi aktor
Australia, Russel Crowe itu menyabet dua buah Academy Award. Tak heran
apabila Columbia Pictures yakin film The Da Vinci Code bakal
mengguncang pasar. Saking optimisnya, perusahaan film inipun sudah
membeli hak cipta karya Brown lainnya, Angels and Demons.
The
Da Vinci Code memang fenomena. Sejak nongol sampai sekarang, novel
tersebut memicu terbitnya 10 buku “perlawanan”. Semuanya mencoba
mematahkan argumentasi yang ada di dalam The Da Vinci Code. Salah satu
buku tandingan itu, Fact and Fiction in The Da Vinci Code karya Steven
Kellemeier, telah diterjemahkan oleh penerbit Optima Press, Jakarta,
Februari lalu.
Tak cuma itu. Beberapa gereja lokal pun
menawarkan brosur dan studi pendampingan bagi mereka yang usai membaca
novel itu, dan mempertanyakan iman kekristenannya. Sejumlah negara
juga melarang peredarannya. Salah satunya adalah Libanon. Otoritas
keamanan negara itu melarang novel yang isinya dinilai sangat
bertentangan dengan keyakinan penganut Yesus dan melawan otoritas
Gereja tersebut.
Mengapa para teolog, pastor, dan pendeta kelimpungan hingga sampai sibuk memberikan tangkisan? Jawabnya, “
Buku itu telah menyerang sendi-sendi iman Kristen, sebab itu kami mesti bicara,”
kata Erwin Lutzen, pastor senior Moody Church di Chicago, Amerika
Serikat, penulis The Da Vinci Deception, seperti ditulis International
Herald Tribune.
Meskipun cuma fiksi, Dan Brown yang populer lewat novel Digital Fortress membuka lembaran pertama novelnya dengan judul “
Fakta”, “
Biarawan
Sion, perhimpunan rahasia yang dibentuk pada 1099, adalah organisasi
nyata. Pada 1975, Bibliotheque Nationale dari Paris menemukan perkamen
yang dikenal sebagai Les Dossiers Secrets, yang mengidentifikasi
sejumlah anggota Biarawan Sion, termasuk Sir Isaac Newton, Botticelli,
Victor Hugo, dan Leonardo Da Vinci”. Pada akhir halaman ini, ditulis : “
Semua deskripsi, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia dalam novel ini akurat.”
Brown
mengawali cerita dengan terbunuhnya Jacques Sauniere, seorang kurator
di Museum Louvre, Paris. Di tubuh korban dan sekitar lantai, penuh
coretan simbol yang menarik perhatian. Lalu muncul Profesor Robert
Langdon, pakar simbolisme religi dari Universitas Harvard, Amerika, dan
Sophie Neveu, seorang ahli membaca sandi atau cryptographer yang
tertarik pada kasus itu. Si cerdas dan perempuan Paris nan cantik
berambut burgundi itu pun sepakat menguak misteri itu.
Mereka
mendapat informasi, ternyata korban mewarisi mantel Leonardo. Mantel
itu menjadi penanda bahwa korban tak lain adalah pemimpin komunitas
rahasia : Biarawan Sion. Kelompok itu bertugas menjaga The Holy Grail
atau cawan suci. Dari situ, jalinan cerita makin seru dan rumit. Dalam
penyelidikannya, Langdon dan Sophie dihadapkan pada berbagai alat
bukti yang butuh penafsiran. Mereka juga bertemu dengan Sir Leigh
Teabing, sejarahwan yang kaya raya.
Teabing inilah yang
nantinya berperan dalam mengungkap tanda tersembunyi pada jalinan teks
kitab suci dengan berbagai karya seni, arsitektur, dokumen, mitologi,
sejarah gereja, dan ajaran dari sekte-sekte kristen. Dalam
pencariannya, mereka harus terbang dari Paris ke London. Mereka
dibuntuti seorang rahib bernama Silas dari kongregasi Opus Dei. Opus Dei
itu didirikan seorang pastor asal Spanyol, Josemaria Escriva, 1928.
Ini sekte Katolik yang amat taat, yang banyak menyulut kontroversi.
Cerita
menjadi seru karena mereka juga diburu polisi khusus Prancis, yang
menduga Langdon sebagai pembunuh Sauniere. Sebelum akhirnya cerita
kembali lagi ke Louvre, tempat pembunuhan terjadi, pembaca dihadapkan
pada serentetan kode, teka-teki, misteri, dan cerita konspirasi yang
memukau. Sampai akhirnya, terbongkarlah konspirasi yang sudah
berlangsung 2000 tahun yang terkait dengan sejarah agama Kristen, Yesus,
dan Biarawan Sion di masa lalu yang melibatkan tokoh kondang.,
seperti Leonardo Da Vinci, Isaac Newton, Botticelli, dan Victor Hugo.
Brown
lihai membangun cerita lewat dialog yang lahir dari Sophie dengan
Langdon, Sophie dengan Teabing, dan antarmereka bertiga. Dalam dialog
itulah, beragam tafsir kontroversial Brown muncul. Misalnya, di Bab 55,
dialog Sophie dan Teabing membawa pembaca pada tafsir baru mengenai
Konsili Nicaea tahun 325. Pertemuan uskup sedunia itu, menurut Brown,
diselenggarakan atas gagasan kaisar Romawi, Kaisar Konstantin. Tujuannya
untuk menekan puluhan ajaran keagamaan yang waktu itu muncul. Dalam
kesempatan itu, kaisar mendesakkan doktrin soal keilahian Yesus
Kristus.
Konsili itu, di mata Brown, penuh muatan politis,
yakni hendak menaklukkan dan menyatukan rakyat dalam ideologi tunggal
di bawah Kekaisaran Roma. Dengan membuat penyeragaman tersebut, Brown
menambahkan, dominasi atas rakyat di wilayah kekuasaan Romawi relatif
lebih mudah dilakukan. Gereja selama berabad-abad berpijak pada hasil
konsili itu.
Tafsir lain yang juga kontroversial adalah
soal Holy Grail atau Cawan Suci yang tampak dalam lukisan Perjamuan
Terakhir (The Last Supper) karya Leonardo Da Vinci. Dalam bible
dikisahkan, sebelum disalibkan, malam harinya Yesus melakukan
perjamuan terakhir bersama ke-12 muridnya. Dalam perjamuan itu, mereka
minum anggur dari cawan atau piala, dan memakan roti tak beragi.
Menurut Brown, lukisan Da Vinci yang tak menampakkan piala itu
menyimpan suatu pesan khusus. Ia berkeyakinan, cawan itu sekedar
metafora, yang artinya adalah garis suci keturunan. Kata itu diambil
dari terminologi bahasa Perancis abad pertengahan, Sangraal (Holy
Grail), dari sang (blood berarti darah) dan raal (royal berarti suci).
Darah suci atau garis suci keturunan itu, menurut Brown, asalnya dari
Yesus dan Maria Magdalena, yang menurunkan Dinasti Merovingian di
Perancis abad pertengahan. Bagi Brown, Cawan Suci yang selama ini
ditutup-tutupi itu adalah Maria Magdalena itu sendiri.
Yesus
telah menikahi Maria Magdalena. Cuma, hal ini sampai sekarang
tertutup rapat. Otoritas Gereja menutupinya, karena bertentangan dengan
doktrin Yesus sebagai Tuhan. Tak ayal, buku Brown ini telah
meruntuhkan akidah kristiani bahwa ternyata Yesus punya istri dan
anak. Anak keturunan Yesus itulah – salah satunya Leonardo Da Vinci –
yang diburu dan dihabisi oleh kalangan mapan gereja.
Cerita
mengenai ini ada pada legenda yang hidup di abad ke-11. Brown rupanya
mengacu ke sana. Isinya menyebutkan bahwa Maria Magdalena kemudian
datang ke Prancis dan mendarat di Marsailles. Ia muncul sebagai wanita
Yahudi terhormat dari Galilea, Israel. Sampai kini masih diyakini
bahwa keturunannya hidup di Prancis dan menurunkan beberapa nama
besar, seperti Leonardo Da Vinci, Newton, dan Hugo.
Menurut
para pengkritiknya, meskipun Brown meyakini semua jalinan cerita
novel itu sebagai fakta kebenaran, materi dasar cerita itu dinilai tak
kredibel, dan dinterpretasikan serampangan. Untuk kepentingan novel
terbarunya itu, ia mengekplorasi beberapa buku, seperti The Gnostic
Gospels karya Elaine Pagels,
The Templar Revelation : Secret Guardians of the True Identity of Christ tulisan Lyn Pick-nett dan Clive Prince.
Buku
lain yang mempengaruhi novel Brown adalah Holy Blood, Holy Grail dari
Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln. Selain itu, masih
ada lagi penulis perempuan yang mempengaruhi penggemar Shakespeare
itu, yaitu Margaret Starbird dengan buku berjudul :
The Goddes in the Gospels, Reclaiming the Sacred Feminine dan
The woman with Holy Jar : Mary Magdalena and the Holy Grail. Oleh para pengkritiknya, buku-buku itu adalah “omong kosong yang keterlaluan.”
Pemicu Kegoncangan Itu
Obrolan
sensitif tiga tokoh fiktif dalam fiksi sejarah The Da Vinci Code
menjungkirbalikkan pemahaman mapan Gereja Katolik. Berikut beberapa
diantaranya:
• Konstantin mensponsori Alkitab
Raja
Roma Konstantin menitahkan dan membiayai penyusunan sebuah alkitab
baru, yang meniadakan semua ajaran yang berbicara tentang perilaku
manusiawi Yesus, serta memasukkan ajaran yang membuatnya seakan Tuhan.
Injil dan dokumen yang mencatat kehidupan Yesus sebagai manusia biasa
dikumpulkan dan dibakar.
• “Yesus Tuhan” adalah hasil voting
Penetapan
Yesus sebagai putra Tuhan bukanlah bersumber dari ajaran Yesus,
melainkan dari hasil voting yang terjadi pada Konsili Nicaea.
Penetapan ini tidak lepas dari kepentingan politik Konstantin. Gereja
masa awal telah mencuri Yesus dari pengikut aslinya, dengan membajak
pesan-pesan manusiawinya, mengaburkannya dalam jubah ketuhanan.
• Perempuan di Jamuan Terakhir
Tidak
semua yang duduk di meja dalam Perjamuan Terakhir adalah laki-laki.
Satu dari tiga belas orang dalam lukisan tersoho The Last Supper karya
Leonardo Da Vinci adalah perempuan, yaitu Maria Magdalena. Maria
duduk tepat di sisi kanan Yesus. Maria adalah sosok Yahudi ningrat
dari klan Benjamin yang tidak lain adalah istri Yesus.
• Maria Pewaris Gereja
Pada
Perjamuan Terakhir, Yesus telah menduga akan ditangkap dan disalib.
Maka ia memberi Maria instruksi bagaimana melanjutkan Gerejanya. Yang
diberi petunjuk adalah Maria, bukan Peter. Peter tidak puas karena
dinomorduakan di bawah perempuan. Dalam lukisan Da Vinci, Peter
mencondongkan tubuh ke arah Maria seolah mengancam.
• Cawan Suci adalah Maria
Cawan
suci adalah kiasan untuk Maria Magdalena, perempuan yang mewadahi
darah Yesus, mengandung keturunan Yesus Kristus. Dalam diri Maria
mengalir tiga kekuatan luar biasa. Kekuatan sebagai pengemban titak
Yesus untuk mengembangkan ajarannya, kekuatan sebagai istri yang
mengandung anak Yesus, dan kekuatan sebagai keturunan raja Yahudi.
Gereja, untuk membela diri dari kekuatan Magdalena, mengabadikan profil
Magdalena sebagai pelacur dan menguburkan bukti-bukti pernikahan
Kristus dengan perempuan ini. Gereja menghancurkan segala kemungkinan
Yesus kawin dan mempunyai keturunan.
• Anak cucu Yesus ada di Perancis
Maria
Magdalena hamil saat penyaliban Yesus. Untuk keamanan Maria tidak
punya pilihan lain kecuali melarikan diri dari Tanah Suci. Dengan
bantuan paman Yesus yang bisa dipercaya, Josef dari Arimatea, ia
diam-diam pergi ke Perancis. Disana ia melahirkan anak perempuan bernama
Sarah. Pada abad ke-5, keturunan Yesus menikah dengan bangsawan
Perancis, menciptakan garis keturunan Merovingian. Klan inilah yang
mendirikan kota Paris.
• Gereja menghabisi keturunan Yesus
Gereja
terdahulu takut jika garis keturunan itu dibiarkan tumbuh, rahasia
yang ditutup rapat akan terkuak, sehingga meruntuhkan doktrin
fundamental Katolik. Di akhir abad ke-7 Vatikan bekerjasama dengan Pepin
d’Heristal membunuh raja Perancis Dagobert. Pembunuhan Dagobert
menyebabkan keturunan Merovingian hampir musnah. Namun putra Dagobert,
Sigisbert, berhasil lolos dan melanjutkan garis keturunan Merovingian.
Salah satu keturunannya adalah Godefroi de Bouillion.
• Biarawan Sion dan Ksatria Templar
Biarawan
Sion didirikan tahun 1099 di Yerusalem oleh Raja Perancis Godefroi de
Boullion, dengan misi menyelamatkan dan melindungi Holy Grail:
dokumen rahasia tentang Maria Magdalena, keturunannya, dan ajaran
Kristen sejati. Untuk kepentingan itu, dibentuklah Ksatria Templar.
Dalam perkembangannya pengaruh Templar meluas di Eropa. Paus Clement V
yang tidak suka dengan perkembangan ini bersiasat dengan Raja Perancis
Philippe IV, untuk membubarkan templar dan merampas harta mereka. Paus
mengeluarkan perintah rahasia dalam kertas bersegel yang hanya boleh
dibuka oleh prajuritnya di seluruh Eropa pada hari Jumat, 13 Oktober
1307. Maka pada hari itu, ksatria-ksatria yang tak terhitung jumlahnya
ditangkap, disiksa secara kejam, dan akhirnya dibakar di tiang
pembakaran sebagai pelaku bidah. Hingga kini Jumat 13 dianggap hari
sial.
• Holy Grail
Karena represi
Gereja, Biarawan Sion bergerak sebagai kelompok persaudaraan rahasia.
Mereka terus menjaga kerahasiaan Holy Grail, dan mewariskan rahasia
itu turun temurun hingga era modern kini, melalui rangkaian pesan
tersembunyi dalam anagram dan simbol. Termasuk dalam kelompok
Persaudaraan Sion adalah Sir Isaac Newton, Botticelli, Victor Hugo,
dan Leonardo Da Vinci.
Respon Kristen Atas The Da Vinci Code
Dr
Darrell L. Bock, professor Perjanjian Baru di Dallas Theological
Seminary, tidak dapat menyembunyikan rasa geramnya, setelah membaca The
Da Vinci Code. Katanya, “
No longer is The Da Vinci Code a mere
piece of fiction. It is a novel clothed in claims of historical truth,
critical of institutions and beliefs held by millions of people around
the world.” Jadi, kata professor ini, Da Vinci Code memang bukan
sekadar novel fiksi biasa, tetapi sebuah novel yang diselubungi
dengan klaim kebenaran historis dan kritik terhadap institusi dan
kepercayaan agama Kristen.
Maka, Bock mengerahkan
kemampuannya untuk menulis bantahan terhadap novel ini. Melalui
bukunya, Breaking the Da Vinci Code (Nashville: Nelson Books, 2004).
Bock melakukan kajian historis untuk mengkritik berbagai fakta sejarah
yang disajikan Brown. Bock hanyalah satu dari puluhan teolog Kristen
yang tersengat The Da Vinci Code. Di toko-toko buku internasional,
kini berjejer puluhan buku yang menyanggah novel itu.
Ya,
The Da Vinci Code, memang hanya sebuah novel fiksi. Tetapi, novel itu
telah menyengat dan menggoncang kepercayaan dalam tradisi Kristen
yang telah berumur 2000 tahun. Maka, meski hanya sebuah novel, sebuah
cerita fiksi, tetapi dihadapi dengan serius oleh kalangan teolog
Kristen.
Novel yang dibaca oleh puluhan juta orang di
dunia ini bagaimana pun termasuk luar biasa dan digarap dengan riset
yang serius. Brown mengklaim bahwa berbagai fakta sejarah seputar
Yesus, Maria Magdalena, Opus Dei, The Priori of Sion, yang dipaparkan
dalam novelnya adalah 100 persen benar. “
Semua deskripsi tentang karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia yang dipaparkan dalam novel ini adalah akurat,” tulis Brown dalam pembukaan novelnya.
Mengapa
novel ini begitu menyengat para teolog Kristen??? Itu tidak lain,
karena novel ini memaparkan fakta-fakta baru tentang Yesus yang
membongkar dasar-dasar kepercayaan Kristen yang bertahan selama 2000
tahun. Dalam Kristen, dogma pokok dan paling inti adalah kepercayaan
tentang kebangkitan Yesus (resurrection). Bahwa setelah mati di tiang
salib, Yesus bangkit pada hari ketiga untuk menebus dosa umat manusia.
Dalam Bible Perjanjian Baru disebutkan, bahwa saksi pertama kebangkitan
Yesus – yang menyaksikan kubur Yesus kosong – adalah seorang wanita
bernama Maria Magdalena.
Jika dasar kepercayaan ini
dibongkar, maka runtuhlah agama Kristen. Paul Young, dalam bukunya,
Christianity, menulis, bahwa tanpa
resurrection, maka tidak ada “
kekristenan”. Ibarat potongan-potongan gambar (jigsaw), maka jika
resurrection dibuang, jigsaw itu tidak akan membentuk apa yang disebut sebagai Christianity.
“
We
can not remove a portion of the Christian jigsaw labelled
“resurrection” and leave anything which is recognizable as Christian
faith. Subtract the resurrection and you destroy the entire picture.”
(Paul Young, Christianity, London: Hodder Headline Ltd, 2003).
Nah,
the Da Vinci Code adalah sebuah novel yang memporak-porandakan sebuah
susunan gambar yang bernama Kristen itu. Betapa tidak, dalam novel
ini, misalnya digambarkan bahwa sebelum disalib Yesus sebenarnya
sempat mengawini Maria Magdalena dan mewariskan gerejanya kepada Maria
Magdalena, bukan kepada Santo Petrus yang kemudian melanjutkan
pendirian Gereja di Roma. Bahkan, bukan hanya kawin, Yesus pun punya
keturunan dari Maria Magdalena, yang karena takut dikejar-kejar
murid-murid Yesus maka melarikan diri ke Perancis. Keturunan Yesus itu
masih tetap ada hingga kini, dan selama ratusan tahun memelihara
tradisi Gereja garis Maria Magdalena. Rahasia ini masih tetap
dipegang, dan disimpan dengan sangat ketat. Selama ratusan tahun itu
pula, gereja Katolik berusaha memburu para penganut Gereja Maria
Magdalena dan membantai anak keturunan Yesus yang dikhawatirkan
mengancam kekuasaan Gereja Katolik dan Gereja-gereja yang menuhankan
Yesus.
Dalam novelnya, cerita dan fakta sejarah seputar
Yesus dihadirkan melalui dialog tokoh-tokohnya, sehingga terkesan
sebagai ungkapan realitas sejarah. Karena itu, dalam beberapa
iklannya, buku ini digambarkan sebagai “
memukau logika dan mengguncang iman.”
Bukan itu saja. Melalui The Da Vinci Code, Brown juga membangun citra
buruk Vatikan dengan nyaris “sempurna”. Bagaimana, misalnya, Paus
mendukung aktivitas Opus Dei, sebuah kelompok Katolik yang tidak
segan-segan melakukan pembunuhan dengan kejam dalam menjalankan
misinya.
Sebut misalnya, sebuah dialog antara agen Sophie
Neveu, agen rahasia Perancis yang juga keturunan Maria Magdalena,
dengan Leigh Teabing, seorang yang digambarkan sebagai bangsawan
Inggris dan pakar sejarah Kristen. Sophie hanya terbengong-bengong
mendapatkan berbagai fakta baru seputar Yesus dari Teabing. Ia sulit
menolak bukti yang disodorkan Teabing dari Gnostic Bible, bahwa Yesus
memang mengawini Mary Magdalena dan mempunyai keturunan. Di Gospel of
Philip, misalnya tertulis:
“
And the companion of the
Saviour is Mary Magdalene. Christ loved her more than all the
disciples and used to kiss her often on her mouth. The rest of the
disciples were offended by it and expressed disapproval. They said to
him, “Why do you love her more than all of us?”
Jadi,
kata Bible ini, Yesus mempunyai pasangan bernama Mary Magdalena dan
terbiasa mencium Maria di bibirnya. Yesus mencintai Magdalena lebih
dari pengikutnya yang lain, sehingga menyulut rasa iri hati. Itulah
yang akhirnya memicu pelarian Mary Magdalena dari Yerusalem ke Perancis
dengan bantuan orang-orang Yahudi. Dalam bahasa Aramaic, kata
“companion” menurut Teabing, bisa diartikan sebagai “pasangan”. Sophie
yang membaca bagian-bagian berikutnya dari Bible Philip itu menemukan
fakta betapa romantisnya hubungan Yesus dengan Maria Magdalena. Ia lalu
mengingat masa silamnya, ketika para pendeta Perancis mendesak
pemerintahnya untuk melarang peredaran film The Last Temptationn of
Christ; sebuah film garapan Martin Scorsese yang menggambarkan Yesus
mengadakan hubungan seks dengan seorang wanita bernama Maria Magdalena.
Dalam
diskursus gender equality saat ini, wacana tentang pewarisan Gereja
oleh Yesus kepada seorang wanita tentu saja sangat menarik. Sebab,
hingga kini, gereja Katolik tetap tidak mengizinkan wanita menjadi
pastor. Begitu juga dengan doktrin “
larangan menikah bagi pastor”
(celibacy), masih tetap dipertahankan, meskipun sekarang mulai banyak
para teolog Katolik yang menggugat larangan kawin ini. Prof Hans
Kung, misalnya, melalui bukunya, The Catholic Church : A short history
(New York: Modern Library, 2003), menyebut doktrin celibacy
bertentangan dengan Bible (Matius, 19:12, 1 Timotius, 3:2). Doktrin
ini, katanya, juga menjadi salah satu sumber penyelewengan seksual di
kalangan pastor. Pendukung novel Dan Brown tentu akan setuju dengan
gagasan Prof Hans Kung dan ide bolehnya wanita menjadi pastor.
Logikanya, jika Yesus saja kawin dan mewariskan gerejanya kepada
wanita, maka mengapa pengikutnya dilarang kawin dan melarang wanita
menjadi pastor.
Sebenarnya gagasan Dan Brown bukanlah hal
baru. Tahun 1982, terbit buku Holy Blood, Holy Grail, yang bercerita
tentang perkawinan Yesus dengan Mary Magdalene dan punya anak
keturunan. Bahkan, soal kebangkitan Yesus itu sendiri menjadi
perdebatan yang panas di kalangan teolog. Apakah kebangkitan itu
benar-benar terjadi, atau sekedar cerita; apakah kebangkitan itu
bersifat objektif atau subjektif.
Sejak tahun 1985,
misalnya, sudah dimulai penyelidikan Yesus Sejarah yang lebih dikenal
dengan nama ‘Jesus Seminar’ di Amerika Serikat. Mereka meragukan fakta
historis, bahwa Yesus bangkit. Kelompok ini dimotori oleh John
Dominic Crossan dan Robert W Funk yang disponsori oleh Westar
Institute. Mereka mengadakan seminar-seminar di sejumlah kota di AS
dan menerbitkan berbagai buku seperti The Five Gospel, The Acts of
Jesus, dan The Gospel of Jesus.
Sejak ratusan tahun lalu,
perdebatan tentang Yesus memang tidak pernah berhenti. Masalahnya,
tidak mudah menjelaskan dengan logika yang masuk akal, bahwa Yesus
adalah Tuhan sekaligus manusia. Sejak awal-awal kekristenan, sudah
muncul kelompok Arius yang menolak pendapat bahwa Yesus adalah Tuhan.
Arius dan pengikutnya dikutuk Gereja.
Dalam bukunya,
Who Killed Jesus (New York : Harper Collins Publishers, 1995), John Dominic Crossan, menulis cerita tentang kubur Yesus yang kosong adalah “
satu cerita tentang kebangkitan dan bukan kebangkitan itu sendiri.”
Cerita tentang Yesus seperti tertera dalam Bible, menurut Crossan,
disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk
cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Yesus.
Perdebatan
seputar Yesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi,
yakni mempertanyakan, apakah sosok Yesus itu benar-benar ada atau
sekadar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat seperti ini pernah
dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang pengikutnya
William Benjamin Smith (1850-1934). Bahkan, perdebatan seputar Yesus itu
kadangkala sampai menyentuh moralitas Yesus sendiri dalam aspek
seksual. Soal ketidakkawinan Yesus misalnya: karena tidak mampu, karena
tidak ada wanita, atau karena homoseks.
The Times, edisi
28 Juli 1967, mengutip ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi
tokoh-tokoh gereja di Oxford tahun 1967: “Women were his friends, but
it is men he is said to have loved. The stricking fact was that he
remained unmarried, and men who did not marry usually had one of three
reasons: they could not afford it, there were no girls, or they were
homosexual in nature.”
Jadi, wacana tentang Yesus dalam
dunia akademis memang sudah bertebaran. Kelebihan Dan Brown adalah
mampu mengangkat wacana itu ke dalam sebuah novel populer. “Ramuan
yang tepat” antara fakta sejarah dan fiksi menjadikan novel ini memang
berpotensi besar mengguncang kepercayaan iman Kristen. Apalagi,
masyarakat Barat memang dikenal hobi dengan mitos dan legenda. Mereka
tak henti-hentinya menciptakan berbagai fiksi dan mitos dalam
kehidupan mereka : Superman, Batman, Spiderman, Rambo. Persis seperti
nenek moyang mereka di Yunani Kuno. Kita tunggu saja, bagaimana
kehebohan terjadi saat the Da Vinci Code muncul dalam bentuk film.
Lelucon Mengagumkan
Salah
satu buku yang ditulis untuk menangkis imajinasi Dan Brown, berjudul
Fact and Fiction in the Da Vinci Code karangan Steven Kellemeier. Bisa
dibilang inilah satu-satunya buku penangkal yang sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan Optima Pers bulan Februari
2005, dengan judul Fakta dan Fiksi dalam The Da Vinci Code. Di
toko-toko buku, buku setebal 107 halaman ini disandingkan dengan The Da
Vinci Code. Tentu harapannya adalah mereka yang membeli Da Vinci akan
mencomot pula buku ini.
Kellemeier mengupas satu demi satu isu-isu krusial dalam Da Vinci. Jika di awal Da Vinci Dan Brown menegaskan “
Semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia dalam novel ini adalah akurat”, maka Kellemeier menyodorkan fakta-fakta yang membuktikan bahwa akurasi itu hanya ada di “dunia pengganti” Dan Brown.
Misalnya
tentang peran Konstantin dalam penyusunan alkitab baru. Menurut
Kellemeier, Konstantin tidak ada kaitannya dengan pengumpulan alkitab.
Daftar pertama kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru secara resmi
disetujui oleh Paus Damasus tahun 382, disahkan pada Konsili Hippo dan
Kartago tahun 393 dan 397. “Konstantin sudah berada di dalam makam
selama sekitar setengah abad ketika daftar buku Alkitab secara resmi
dikumpulkan” tulis Kellemeier. Sayang Kellemeier tidak tuntas
menjelaskan masalah ini (baca juga tulisan:
Jejak Konstantin di Gereja).
Tentang
voting pada Konsili Nicaea untuk memutuskan apakah Yesus itu Tuhan
atau manusia, Kellemeier bertutur yang terjadi tidaklah persis
demikian. Setiap orang di Nicaea setuju Kristus adalah Tuhan, sekaligus
ia adalah manusia. Mereka bertemu untuk memutuskan bagaimana
keseluruhan keilahian itu bekerja. Kellemeier mengaku terjadi voting
yang dimenangkan kelompok “Yesus adalah Tuhan”. Para uskup kemudian
membakar ajaran Arius. Konstantin mengirim Arius ke pengasingan, tetapi
kemudian memanggilnya kembali.
Bagaimana perkawinan
Yesus dengan Maria Magdalena? Isu sensitif yang menjadi fondasi
penting The Da Vinci Code ini tidak dijawab langsung oleh Kellemeier.
Ia menjelaskan, Yesus adalah pengantin, tetapi ia tidak menikahi
seorang perempuan. Ia menikahi Gereja. Setiap orang yang dibaptis atau
menyatukan diri sendiri pada pengantin Ilahi, Gereja, mengambil
bagian dalam perkawinan ilahi. “Allah menikahi dirinya sendiri pada
kita melalui sakramen baptis.” Tulis Kellemeier.
Halaman demi halaman the Da Vinci Code dikupas oleh Kellemeier. Dia mengajak pembaca untuk sampai pada kesimpulan bahwa “
Brown
memang memberi kita suatu lelucon yang mengagumkan, suatu catatan
untuk pembaca yang waspada dan berpengetahuan, bahwa keseluruhan
novelnya adalah serangkaian lelucon aneh dan anagram untuk menghibur
kita” (hlm. 87).
Dan di akhir bukunya, Kellemeier
memastikan apa yang dikemukakan Dan Brown bukanlah bidah baru. Sudah
sering dikemukakan orang, ratusan kali sebelumnya, dan ratusan kali
pula ditentang. “Satu-satunya perbedaan antara Dan Brown dan kelompok
sebelumnya adalah dia berhasil memperoleh lebih banyak uang dibanding
mereka. Itulah harga kemajuan,” tulis Kellemeier.
Siapa
Steven Kellemeier? Inilah kelemahan utama buku penyanggah Da Vinci
ini. tidak ada penjelasan tentang siapa dia, karya apa yang sudah
pernah ditulis. Sayang, padahal informasi tentang hal-hal itu akan
memudahkan kita untuk mengukur kredibilitas karya ini.
Jejak Konstantin di Gereja
Benarkah Konstantin berperan penting dalam penyusunan doktrin Kristen?
Penuturan
Dan Brown via tokoh Leigh Teabing tentang peran Kaisar Konstantin dan
Konsili Nicaea 325 M dalam penyusunan Alkitab, bukan bualan fiktif.
Banyak buku telah ditulis oleh sejarawan agama, seputar kontroversi
Konsili Nicaea 325 M. Karena konsili inilah yang menetapkan Alkitab
seperti bentuknya saat ini dan memformulasikan doktrin Trinitas.
Doktrin yang menjadi fondasi ajaran Kristen.
Sepeninggal
Yesus dan para sahabat, tidak ada kelompok penganut Kristen dalam
jumlah besar. Yesus dan para sahabatnya memang tidak membawa syariat
baru, selain menegakkan hukum Taurat Perjanjian Lama. Mereka itulah
pengikut Kristen awal atau Yudeo-Christian. Kelompok ini hanyalah
sebuah sekte Yahudi yang taat pada hukum Taurat.
Penyimpangan
pertama terjadi ketika Paulus mulai menyebarkan ajaran Yesus ke
kalangan gentile (non Yahudi). Konsili Yerusalem 49 M membebaskan
mereka dari ritual khitan dan upacara-upacara Yahudi. Banyak orang
Yudeo-Christian yang menentang perlakuan khusus ini. kelompok ini
memisahkan diri dari Paulus karena menganggap Paulus telah berkhianat
dan menyimpang dari ajaran Yesus. Hingga 70 M, kelompok Yudeo-Christian
merupakan mayoritas dalam gereja.
Ketua kelompok
Christian adalah Jacques seorang kerabat Yesus. Ia didampingi oleh
Petrus dan Yahya (Yohanes). Keluarga Yesus memegang peranan penting
dalam kelompok Yudeo-Christian. Namun sejak pemberontakan Yahudi
terhadap Romawi dan jatuhnya Yerusalem pada 70 M, keadaan menjadi
terbalik. Aliran Yudeo-Christian dimusuhi dan dijauhi di seluruh
wilayah kekuasaan Romawi. Sebaliknya, ajaran Paulus makin populer.
Ajaran ini makin lama makin jauh dari sumber aslinya dan cenderung
merupakan agama baru.
Perseteruan antara kubu
Yudeo-Christian dan pengikut Paulus, menyebabkan dunia Kristen
terbelah dalam berbagai aliran teologis seputar sifat ketuhanan dan
kemanusiaan Yesus. Zaman itu dikenal sebagai zaman patristik (abad
pertama hingga abad keempat Masehi). Disebut zaman paristik karena
pada zaman ini, umat kristiani terbelah dalam berbagai aliran teologis
yang dianut oleh para patris (imam atau pendeta tinggi).
Ketika
itu, para patris menghadapi dilema dalam mempertemukan konsep Tuhan
dalam Taurat yang diterangkan sebagai Tuhan Yang Mahaesa (monotheist)
dan konsep Tuhan menurut Paulus, yaitu Tuhan yang dualistis: Tuhan
Bapak dan Tuhan Anak. Dilemanya terletak pada keharusan menerima
doktrin Paulus. Karena Pauluslah yang mula-mula menyebarkan ajaran
Kristen ke kalangan gentile (non Yahudi yg jumlahnya lebih banyak dari
Yahudi itu sendiri). Ketika itu, ajaran Kristen sudah meluas dan
dianut oleh berbagai bangsa. Ajaran Kristen juga perlahan tapi pasti,
menjadi agama mayoritas di Kekaisaran Romawi.
Alhasil,
penolakan terhadap doktrin Paulus sama artinya dengan menolak
keabsahan kedudukan orang Non Yahudi dalam agama Kristen. Karena dilema
itu, para patris pun punya kesimpulan sendiri-sendiri.
Basilides
(90-150 M) punya versi sendiri dalam menjelaskan dualisme konsep
ketuhanan itu. Tuhan Perjanjian Baru yang digambarkan Paulus adalah
Tuhan Bapak Yang Tertinggi yang menjadi sumber cinta kasih. Kristus
adalah Anak dari Bapak Tuhan Yang Tertinggi. Kristus dikirim oleh
Bapak untuk menolong manusia dari cengkeraman hukum keadilan Tuhan
versi Perjanjian Lama.
Markion (100-160
M), sepaham dengan Basilides tentang adanya dua macam Tuhan. Markion
berpendapat Yesus bertubuh maya bukan sebagai manusia kongkret. Namun,
aliran ini hanya mengakui injil Lukas dan 10 surat kiriman Paulus.
Aliran ini juga sangat membenci Tuhan versi Perjanjian Lama, yang
dianggap berperan dalam penyaliban Yesus.
Ireneus
(150-202 M). Patris ini tidak menerima konsep dua Tuhan. Menurutnya,
Tuhan Perjanjian Baru dan Tuhan Perjanjian Lama adalah satu. Ireneus
juga menolak konsep Yesus bertubuh maya. Menurutnya, Yesus adalah
bener-bener jelmaan Tuhan.
Tertullianus
(155-220 M). Aliran ini sejalan dengan ajaran Paulus, terutama tentang
dosa warisan. Ia mencoba menyempurnakan konsep dosa warisan secara
filosofis menurut hukum sebab akibat. Tentang ketuhanan Yesus,
Tertullianus menganggap Yesus sebagai Tuhan yang lebih rendah daripada
Tuhan Yang Tertinggi.
Arius (270-350 M)
versus Athanasius (298-373 M). Konsep Arius tentang Ketuhanan
menimbulkan kontroversi besar. Karena berbeda dengan kebanyakan
patris, Arius menolak konsep ketuhanan Yesus. Menurut Arius, Yesus
Kristus itu makhluk. Tidak sehakikat dengan Tuhan. Sifat-sifat
ketuhanan pada Yesus bukan sifat yang hakiki, melainkan anugerah dari
Tuhan. Faham Arius itu dengan cepat mendapat pengaruh di Mesir,
Palestina, dan Konstantinopel. Ketika pertama kali melontarkan
konsepnya, Arius adalah seorang prebister (imam kecil) di Iskandariah.
Dengan
lantang, ia menantang ajaran Gereja bahwa Yesus adalah Tuhan. Karena
ajarannya, Arius diusir dari Iskandariah. Namun pendapatnya mendapat
dukungan dari uskup-uskup Nicomedia, Maradonia, Palestina, Assiut, dan
bahkan Patriarch Konstantinopel.
Athanasius (uskup
Iskandariah) adalah patris yang paling keras menentang Arius. Ia
mengajarkan bahwa Anak (Yesus) bukan makhluk dan setengah Tuhan atau
Tuhan yang kedua. Dia satu zat dengan Tuhan Bapak dalam
segala-galanya. Ketika Anak itu datang ke dunia, itu berarti Tuhan
sendiri yang datang menyelamatkan manusia.
Perselisihan
antara kubu Arius dan Athanasius membuat Kaisar Konstantin khawatir.
Akhirnya Kaisar turun tangan. Dikumpulkanlah para Patriarch dan Uskup
di seluruh negeri sebanyak 2.018 orang untuk bersidang di Nicaea pada
tahun 325 M. Ini adalah konsili Oikumenis pertama dalam sejarah
kekristenan, untuk membicarakan Yesus itu Tuhan atau bukan. Perdebatan
berlangsung sengit, tanpa ada keputusan. 1.700 uskup sepaham dengan
Arius. Sisanya sejalan dengan Athanasius. Namun Konstantin enggan
mengambil keputusan. Konsili pun dibubarkan.
Namun,
setelah itu, Konstantin mengumpulkan para uskup yang dianggap sepaham
dengan Athanasius. Melalui pemungutan suara, Konstantin menyatakan
ajaran Athanasius yang benar dan menjadi ajaran resmi di kekaisaran
Romawi. Dalam voting itu, kelompok Athanasius unggul dengan
perbandingan 315 lawan 3. selain ketuhanan Yesus, konsili juga
menetapkan tanggal paskah, administrasi sakramen, dan peran uskup.
Namun
Konsili Nicaea belum sepenuhnya merumuskan konsep trinitas. Baru pada
konsili Konstantinopel 381 M dan Konsili Chalcedon 451 M, Roh Kudus
ditetapkan sebagai Tuhan. Maka lengkaplah ajaran Trinitas : Tuhan
Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus.
Di masa Konstantin,
agama resmi Romawi adalah pemujaan matahari, dan Konstantin adalah
pendeta kepalanya. Ketika itu, Konstantin menghadapi kenyataan, 3 abad
sepeninggal Yesus, penganut Kristen tumbuh berlipat-lipat. Kaum
Kristen dan pagan mulai berperang. Situasi dianggap mengancam dan
memecah belah Romawi.
Konstantin memutuskan untuk
menyatukan Romawi dalam sebuah agama tunggal, Kristen. Caranya,
mengalihkan para penganut pagan pemuja matahari menjadi Kristen,
dengan meleburkan simbol-simbol, tanggal-tanggal, serta ritus-ritus
pagan ke dalam tradisi Kristen yang sedang tumbuh. Melalui Konsili
Nicaea, Konstantin berhasil menciptakan agama hybrid yang dapat
diterima kedua belah pihak. Konstantin juga menggeser hari Sabat
Yahudi sebagai hari peribadatan Kristen, menjadi hari Minggu agar
bertemu dengan hari kaum pagan memuliakan matahari, Sun-day.
Lord
Headly, memerinci beberapa kepercayaan pagan yang mempengaruhi ajaran
Kristen saat ini. salah satunya adalah Mithraisme yang berasal dari
Persia. Mithra dipercaya sebagai perantara antara Tuhan dan manusia.
Mithras, Tuhan pra Kristen disebut Putra Tuhan dan Cahaya Dunia, lahir
dan mati tanggal 25 Desember, dikubur dalam makam batu dan
dibangkitkan setelah 3 hari.
Tanggal 25 Desember juga hari
lahir Osiris (Dewa rakyat Mesir), Adonis (Dewa rakyat Syria), dan
Dionysus. Lord Headly juga melihat ada persamaan antara kepercayaan
Kristen sekarang terhadap Yesus dengan kepercayaan orang Yunani
terhadap Apollo, dan orang Romawi terhadap Hercules. Sementara dalam
kepercayaan bangsa Babylon, Tuhan Bel Astarte adalah anak tunggal
Tuhan yang diturunkan ke bumi. Bel juga dipercaya lahir tanggal 25
Desember.
Pada waktu itu Gereja Yunani mengira hari lahir
Yesus tanggal 7 Januari. Namun PausLiberius pada 530 M menetapkan
kelahiran Yesus pada 25 Desember.
Meminjam tokoh
antagonis, Leigh Teabing sebagai penutur, Brown melukiskan Konstantin
sebagai seorang pagan (penganut polytheisme) seumur hidup. Dengan
lebih memilih konsep Athanasius, dia bisa memasukkan unsur-unsur
paganisme ke dalam Kristen, sehingga para pemeluk pagan tidak
keberatan memeluk Kristen.
Menurut Brown, Konstantin
dibaptis menjadi Kristen di ranjang kematiannya, karena terlalu lemah
untuk melawan. Tapi dengan cara itulah, Konstantin telah berhasil
menyelamatkan Romawi dari kehancuran. Konstantin juga berhasil
mengabadikan sisa-sisa kepercayaan pagan pada dogma dan ritual kristen
versi Konsili Nicaea 325M.
Injil Gulungan Laut Mati
The
Da Vinci Code karya Dan Brown bukanlah buku pertama yang mengantar
publik ke diskusi yang selama ini hanya menarik perhatian segelintir
sarjana alkitab. Tafsir ala post-modern terhadap temuan arkeologis baru
bukanlah hal baru. Pembicaraan soal itu makin menghangat dalam lima
dekade ini, seiring dengan ditemukannya “
Naskah Gulungan Laut Mati”
atau The Dead Sea Scrolls di sebuah gua dekat Qumran di Gurun Judea
tahun 1950-an, dan teks Gereja Koptik di kawasan Nag Hammadi Mesir,
1945.
Tulisan dan fragmen itu ternyata bercerita soal
Yesus dalam konteks pemahaman beragam komunitas. Isinya diluar wilayah
keempat injil atau kitab Perjanjian Baru yang selama dua abad ini
resmi diakui oleh gereja. Seperti kita tahu, keempat injil itu adalah
injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Para sarjana kemudian
menyebut temuan baru itu sebagai injil Maria, Petrus, Philipus,
Thomas, dan Q. Dan sepertinya, tidak ada injil lain pendukung injil
yang sekarang. Injil-injil dari luar yang semuanya sekarang tidak
mendukung ketuhanan Yesus, oleh gereja dianggap injil “apokrifa” atau
injil lemah/diragukan.
Nah, di mata Dan Brown, teks baru
itu merupakan salah satu bukti adanya ajaran yang selamat dari
‘tekanan’ kekaisaran Roma di bawah Konstantin. Namun para sarjana
Kristen menilai temuan baru itu tak bisa dipertentangkan dengan isi
keempat injil resmi. Gereja resmi “mengenyampingkannya”, karena
teks-teks itu secara sepihak oleh gereja ‘dianggap’ telah ditulis
dalam rentang waktu yang jauh dari masa kehidupan Yesus.
Kemudian
klaim Brown soal keilahian Yesus yang baru muncul setelah Konsili
Nicaea ternyata tak cocok dengan dokumen gereja perdana yang
menyebutkan bahwa orang Kristen sejak awal telah percaya bahwa Yesus
adalah Raja, Tuhan, dan Penyelamat. Memang, setelah Yesus disalibkan,
ekspresi awal mengenai kekristenan beragam sekali.
Semua
ini bermula dari ketertarikan Brown pada Leonardo Da Vinci dan misteri
yang tersembunyi di dalam lukisan-lukisannya. Saat itu dia sedang
belajar sejarah seni di Universitas Seville di Spanyol. Bertahun-tahun
kemudian, ketika dia melakukan riset untuk novel ketiganya, Angels
& Demons, dan arsip-arsip rahasia Vatikan, dia berhadapan dengan
enigma Da Vinci lagi. Sejak itulah secara khusus dia tertarik pada
lukisan Da Vinci. Dalam sebuah wawancara, Brown mengatakan bahwa
diperlukan riset selama setahun sebelum dia menulis The Da Vinci Code.
Brown
bukan tidak menyadari mengenai besarnya potensi kontroversi yang
terkandung dalam novelnya. Ketika berbicara di sebuah forum di Concord,
New Hampshire, Mei tahun lalu, ia malah mengatakan sempat
mempertimbangkan untuk memasukkan pula dugaan bahwa Yesus selamat dari
penyaliban. Ia menyimpulkan itu berdasar “sumber-sumber yang kredibel”.
Ia akhirnya mengabaikan itu karena “kelewatannya tiga atau empat
langkah lebih jauh.” Brown memang mengangkat topik-topik gereja yang
jauh lebih gemerlap. Disengaja atau tidak, novel Brown yang
mencampurkan fakta dan fiksi itu telah membuka kembali sebuah episode
kontroversi gereja yang demikian panjang.
Secara merendah, Brown mengakui memilih topik yang kontroversial ini untuk alasan pribadi : “
Terutama
sebagai eksplorasi atas agama saya sendiri dan gagasan saya tentang
agama. Saya yakin bahwa satu alasan mengapa buku ini menjadi
kontroversial adalah bahwa agama adalah sesuatu yang sangat sulit untuk
didiskusikan dalam istilah-istilah kuantitatif. Saya menganggap diri
saya sebagai siswa dari banyak agama. Niat tulus saya adalah bahwa The
Da Vinci Code, selain menghibur pembaca, juga menjadi pintu pembuka
bagi pembaca untuk mengawali eksplorasi agama bagi mereka sendiri.”
Uniknya,
The Da Vinci Code ternyata tidak menuai hujatan dari Vatikan. Meski
isinya panas dan meruntuhkan akidah kristiani, fatwa mati dan
pembakaran buku seperti pernah dilakukan gereja pada abad pertengahan
tak terjadi. Bahkan, menurut penerbitnya, Doubleday, kini Brown sedang
fokus pada karya terbarunya. Mantan guru itu dalam situsnya di internet
menyatakan terbuka atas debat yang akan bermunculan menghadapinya.
Apakah ketidakpedulian gereja mencerminkan bahwa kontroversial itu memang pernah ada?????
Resource:
• Majalah Insani, April 2005 melalui E-Book "The Da Vinci Code" Terjemahan Indonesia